Jakarta - Dalam upaya pengurangan ketimpangan ekonomi global, sejumlah negara telah mengimplementasikan pajak kekayaan dan properti yang menyasar individu serta entitas dengan kekayaan tertentu. Di kawasan Asia Tenggara (ASEAN), meskipun pajak aset seperti properti sudah diberlakukan, belum ada negara yang sepenuhnya menerapkan kebijakan pajak kekayaan untuk kaum superkaya mereka.
Menurut sebuah penelitian dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), ketimpangan ekonomi yang cukup besar terjadi di Indonesia. Data CELIOS mengungkapkan bahwa 50 orang triliuner terkaya di Indonesia menguasai aset dengan nilai setara dengan jumlah total kekayaan dari 50 juta orang lainnya di negara ini, Selasa, 11 Februari 2025.
Potensi Pemasukan dari Pajak Kekayaan
Jika pemerintah Indonesia berani memungut pajak kekayaan sebesar 2% dari 50 orang triliuner tersebut, negara diprediksi dapat memperoleh penerimaan tambahan hingga Rp81,56 triliun. Namun, ada pertanyaan besar apakah pemerintah memiliki keberanian untuk menerapkan kebijakan ini.
"Pembuat kebijakan itu kan oligarki, duitnya triliunan mungkin, terus asetnya di mana-mana. Ya mereka enggak mau lah (dikenakan pajak kekayaan)," kata Esther Sri Astuti, seorang dosen ekonomi di Universitas Diponegoro, kepada DW Indonesia. Menurutnya, terdapat kecenderungan di mana pembuat kebijakan sendiri termasuk dalam kalangan superkaya, sehingga muncul keengganan untuk menerapkan pajak semacam itu.
Kendala Penerapan Pajak Kekayaan
Salah satu tantangan utama dalam penerapan pajak kekayaan di Indonesia adalah tingginya tingkat informalitas dalam perekonomian. Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Teuku Riefky, mencatat bahwa pemerintah masih kesulitan dalam mendata kekayaan individu karena banyaknya transaksi yang tidak tercatat.
"Jadi, informalitas ini simply masyarakat-masyarakat atau transaksi yang kemudian tidak tercatat oleh pemerintah. Sehingga, kita enggak tahu income masing-masing individu di Indonesia itu berapa," ujar Riefky. Ia menambahkan bahwa Indonesia masih jauh untuk menerapkan pajak kekayaan dengan efektif.
Menurut Esther, masalah lain adalah ketidakmampuan pemerintah untuk mendata wajib pajak secara menyeluruh, termasuk pihak-pihak yang menyimpan hartanya di luar negeri. Hal ini menjadi penghalang besar dalam pengimplementasian pajak kekayaan yang lebih adil.
Alternatif Pajak untuk Peningkatan Penerimaan Negara
Selain pajak kekayaan, beberapa alternatif lain dapat dipertimbangkan oleh pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara. Esther mengungkapkan bahwa pajak aset dapat menjadi sistem yang lebih berkeadilan. Ia juga menyebutkan bahwa kontribusi Pajak Penghasilan di Indonesia hanya sebesar 5% terhadap total penerimaan negara, jauh lebih kecil dibandingkan dengan Pajak Pertambahan Nilai yang menyumbang hingga 30%.
Untuk mengatasi masalah penerimaan pajak, Teuku Riefky menganjurkan peningkatan kepatuhan pajak sebagai langkah yang lebih diperlukan ketimbang menaikkan tarif pajak atau memperkenalkan instrumen pajak baru. "Kemudahan dari sisi administrasi adalah salah satu cara yang dipercaya Riefky untuk membenahi persoalan pajak di Indonesia," ujarnya, seraya menekankan bahwa birokrasi pembayaran pajak yang kompleks harus disederhanakan.
Pelaksanaan Pajak Kekayaan di Dunia
Di tingkat global, pajak kekayaan telah diterapkan di berbagai negara, termasuk di beberapa negara Eropa seperti Norwegia dan Swiss. Menurut laman taxsummaries yang dikeluarkan oleh PWC, Norwegia memungut pajak kekayaan sebesar 1%, sementara Swiss menerapkan tarif bervariasi antara 0,02-1,03%, tergantung pada kanton.
Sementara itu, Italia memungut pajak kekayaan untuk properti dan investasi masing-masing sebesar 0,76% dan 0,2%. Di Amerika Latin, Uruguay juga menerapkan pajak kekayaan, baik untuk warga negara maupun warga asing dengan tarif yang bervariasi.
Namun, Teuku Riefky menyoroti bahwa secara global, implementasi pajak kekayaan masih menghadapi berbagai tantangan. "Banyak negara maju yang data wajib pajaknya sudah sangat advance pun, mereka belum bisa menghimpun semua harta kekayaan," ujarnya. tantangannya adalah bagaimana mampu menelusuri kekayaan seseorang secara menyeluruh.
Secara keseluruhan, penerapan pajak kekayaan di Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya masih menghadapi sejumlah tantangan. Namun, dengan pendekatan yang tepat dan peningkatan infrastruktur data perpajakan, potensi dari langkah ini untuk mengurangi ketimpangan ekonomi tidak bisa diabaikan.