Jakarta - Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, baru-baru ini mengumumkan langkah keras terhadap Iran dengan menerapkan kebijakan sanksi yang mengancam menjadikan ekspor minyak Iran nol. Kebijakan ini, bagian dari strategi "tekanan maksimum" terhadap Teheran, diperkirakan dapat memukul devisa Iran secara signifikan, mengingat minyak adalah penyumbang utama pendapatan negara tersebut. Langkah tersebut memicu beragam respons dari berbagai pihak, terutama dari dalam pemerintahan Iran sendiri.
Presiden Iran, Masoud Pezeshkian, menegaskan ketahanan negaranya dalam menghadapi sanksi ini. Dalam sebuah pertemuan pemerintah, Pezeshkian menyatakan bahwa Iran memiliki cadangan sumber daya yang "luar biasa di dunia". Ia menegaskan bahwa upaya AS untuk menekan Iran melalui pembatasan ekspor minyak tidak akan berhasil sepenuhnya, karena terdapat berbagai metode untuk mengatasi embargo semacam itu. "Amerika percaya bahwa semua yang kita lakukan bergantung pada minyak, dan mereka ingin menghentikan ekspor minyak kita, sementara ada banyak cara untuk menetralisir tujuan mereka," tegas Pezeshkian, Kamis, 6 Februari 2025.
Dalam pertemuan dengan Sekretaris Jenderal OPEC, Haitham Al-Ghaidh, Pezeshkian menekankan pentingnya solidaritas antar anggota OPEC agar pengaruh eksternal seperti AS tidak dapat merugikan negara mana pun dalam organisasi tersebut. "Jika anggota OPEC bertindak secara bersatu, Amerika Serikat tidak akan dapat menjatuhkan sanksi kepada anggota mana pun, atau menekannya," ujarnya.
Selain memberikan tanggapan atas sanksi, pemerintah Iran juga menunjukkan kekuatan di bidang pertahanan. Pezeshkian, dalam kunjungannya ke pameran industri rudal Kementerian Pertahanan di Teheran, menegaskan pencapaian militer Iran bertujuan untuk perlindungan nasional. Rudal balistik jarak menengah baru, yang dinamai "E'temad", diresmikan pada acara tersebut. "Kemajuan (militer) seperti itu akan terus berlanjut, bukan dengan tujuan agresi terhadap negara mana pun, tetapi untuk mencegah negara mana pun yang berani melanggar tanah kami," ungkapnya seperti dikutip dari Tasnim News Agency.
Namun, di balik ketegangan ini, ada spekulasi mengenai kemungkinan dialog antara Iran dan Amerika Serikat. Trump sendiri menunjukkan minat untuk membicarakan kemungkinan kesepakatan baru dengan Iran meskipun langkah tegasnya kali ini sejalan dengan sikap keras terhadap Iran. Saat menyambut Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, di Gedung Putih, Trump menandatangani memorandum yang menekankan dimulainya kembali kebijakan tekanan maksimum tersebut.
Di Iran, kebijakan ini memunculkan tantangan politik internal bagi pemerintahan Pezeshkian, khususnya dari pihak-pihak yang menentang negosiasi dengan AS. Wakil Presiden untuk Urusan Strategis, Javad Zarif, adalah salah satu pejabat Iran yang pernah terlibat dalam kesepakatan 2015 dengan AS dan negara lainnya. Meskipun sempat ditarik keluar dari kesepakatan itu, Zarif masih menyatakan perlunya diskusi demi kepentingan nasional Iran.
Faktor kepercayaan menjadi penghalang utama dalam hubungan kedua negara ini. Pezeshkian mengatakan kepada NBC bahwa meskipun kemungkinan negosiasi ada, Iran ragu apakah AS akan mematuhi perjanjian baru, mengingat riwayat sebelumnya. Pernyataan terbaru dari pemerintah Iran, yang dinyatakan oleh juru bicara Fatemeh Mohajerani, cenderung bersifat umum dan tidak menyebut AS secara spesifik, menunjukkan betapa sensitifnya isu ini dalam politik domestik Iran.
Langkah Trump yang tampak keras dan tersinkronisasi dengan pemerintah Israel berpotensi memperumit prospek dialog lebih lanjut. Meskipun Trump menyatakan keinginannya untuk mencapai "kesepakatan hebat" dengan Iran yang dapat menguntungkan kedua belah pihak, langkahnya ini justru menjadi batu sandungan. Penekanannya bahwa ia di bawah tekanan untuk menandatangani memo tersebut juga menunjukkan adanya pengaruh dari penasihatnya yang agresif dan tanggapan politik dari dalam negeri Iran yang masih skeptis terhadap niat baik AS.
Dengan perkembangan ini, hubungan antara AS dan Iran terus berada dalam ketegangan dan ketidakpastian, sementara impian negosiasi damai tampaknya masih berada di luar jangkauan.