JAKARTA - Kementerian Perhubungan Republik Indonesia baru-baru ini mengungkapkan kekhawatiran akan tingginya jumlah kapal laut yang sudah berusia tua di Indonesia. Masalah ini bukan hanya ancaman terhadap kelancaran transportasi laut, tapi juga dapat mempengaruhi sektor ekonomi yang lebih luas. Kapal laut memiliki peran vital sebagai alat transportasi dan bagian inti dari pembangunan infrastruktur ekonomi negara.
Menurut data statistik yang disampaikan oleh Dirjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, Capt. Antoni Arif Priadi, dalam ajangnya Indonesia Maritime Talk 2025 di Hotel The Ritz-Carlton, Mega Kuningan, Jakarta Selatan, pada Selasa, 25 Februari 2025, diketahui bahwa terdapat hampir 50 ribu kapal beroperasi di perairan Indonesia. Dari jumlah tersebut, sekitar 50 persen di antaranya sudah berusia lebih dari 15 tahun.
"Terkait dengan jumlah kapal, saya punya datanya. Jumlah kapal kita hampir 50 ribu selain kapal ikan, dan sekitar 50 persen usianya hampir di atas 15 tahun," ungkap Capt. Antoni. Angka yang diberikan oleh Antoni ini memberikan gambaran yang cukup jelas akan kondisi armada laut Indonesia yang mendekati masa uzur.
Kondisi kapal yang mendekati batas usia optimal tentunya memerlukan perhatian khusus. "Kita harus mikir lagi. Kalau tidak, pasti terjadi gangguan untuk konektivitas dalam negeri. Ini isu penting," lanjut Antoni. Dengan usia yang terbilang tua, kemungkinan besar kapal-kapal ini membutuhkan perawatan intensif, dan bahkan peremajaan, untuk memastikan mereka tetap berfungsi dengan baik dan aman.
Antoni menekankan pentingnya mengubah kondisi ini dengan tindakan konkret, salah satunya adalah memperbarui kapal-kapal yang sudah menua di laut Indonesia. Kapal yang telah melewati usia produktif sebaiknya diperiksa ulang secara menyeluruh dan, jika memungkinkan, dilakukan perbaikan atau retrofitting agar dapat terus berfungsi dengan baik.
Namun, biaya merupakan kendala yang dihadapi oleh para pemilik dan operator kapal. Pembelian kapal baru maupun perbaikan intensif memerlukan dana yang tidak sedikit. Oleh karena itu, Capt. Antoni mengajukan wacana pemberian insentif untuk kapal-kapal yang menggunakan teknologi berbasis energi baru terbarukan atau EBT. "Kapal yang dibangun dengan EBT dapat insentif, termasuk kapal-kapal yang diretrovit. Nggak mungkin semua langsung ganti EBT," paparnya.
Dari berbagai sudut pandang, solusi berbasis EBT ini dinilai bisa menjadi langkah strategis untuk memperpanjang usia operasional kapal serta mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Namun, Antoni juga mengakui bahwa upaya ini bukan tanpa tantangan. Biaya yang tinggi dan proses retrofit yang rumit merupakan sebagian dari masalah yang harus dipecahkan. Selain itu, waktu produksi yang relatif panjang dan ketergantungan pada komponen impor menambah kerumitan masalah ini.
Selain itu, tantangan lainnya adalah proses izin industri yang tidak selalu mudah dihadapi. Antoni mencontohkan bahwa pengubahan kapal ASD menjadi kapal berbahan bakar LNG memerlukan perizinan yang kompleks, "Ada fase perlu retrovit ini perlu dipikirkan sekarang. Satu kapal yang ASD diubah dengan LNG, tapi perizinan dengan industri nggak mudah."
Pada akhirnya, upaya Pemerintah dalam mengatasi isu kapal uzur dengan pemberian insentif dan dorongan teknologi EBT perlu didukung oleh seluruh pihak terkait. Kolaborasi antara pemerintah, industri kapal, dan sektor terkait lainnya menjadi kunci agar pembaruan kapal bisa berjalan efektif dan efisien. Dengan langkah-langkah yang tepat, diharapkan Indonesia bisa memiliki armada laut yang lebih modern dan berkelanjutan, yang pada akhirnya akan meningkatkan konektivitas dan ekonomi negara secara keseluruhan.