JAKARTA - Transportasi publik di Indonesia masih sangat bergantung pada subsidi pemerintah.
Program Buy The Service (BTS) sempat dijadikan terobosan, namun sering terhenti saat anggaran habis. Akibatnya, bus yang seharusnya beroperasi terpaksa berhenti, armada mangkrak, dan kepercayaan penumpang menurun.
Muhammad Akbar, pemerhati transportasi, menyebut masalah utama terletak pada skema pembiayaan. Tanpa dukungan dana pemerintah, setiap program hanya berlangsung singkat. Hal ini mengakibatkan layanan transportasi tidak memberi dampak nyata bagi masyarakat.
Fenomena ini tercermin dari data Kementerian Perhubungan yang menunjukkan anggaran BTS menurun drastis. Dari Rp 437,89 miliar di 2024 menjadi Rp 177,49 miliar di 2025, dan diproyeksikan hanya Rp 82,67 miliar pada 2026.
Tren penurunan anggaran ini menimbulkan tanda tanya besar bagi keberlanjutan layanan BRT di berbagai daerah. Di sisi lain, pemerintah daerah jarang siap mengambil alih tanggung jawab pembiayaan.
Misalnya, Dinas Perhubungan DKI Jakarta mengalokasikan 70 persen anggaran atau sekitar Rp 7,2 triliun untuk subsidi transportasi massal seperti Transjakarta, MRT, dan LRT. Hal ini menunjukkan masih tingginya ketergantungan pada dana pemerintah pusat maupun daerah.
Tantangan Moda Angkot dan Mobilitas Masyarakat
Kerapuhan sistem juga terasa pada moda angkot yang selama puluhan tahun menjadi tulang punggung mobilitas. Trayek jarang ditata ulang, armada menua, dan pola bisnis tidak pernah diperbaharui. Operator kecil harus berjuang sendiri di tengah penurunan jumlah penumpang.
Menurut Akbar, dengan manajemen tepat, angkot masih dapat berfungsi baik. Di kota besar, angkot bisa menjadi penghubung BRT, sedangkan di kota lain tetap menjadi transportasi utama masyarakat.
Membiarkan angkot merosot sama saja dengan memutus akses mobilitas bagi warga miskin yang sangat bergantung pada moda ini. Beban biaya transportasi masyarakat juga belum ideal.
Rekomendasi Bank Dunia menyarankan biaya transportasi tidak lebih dari 10 persen dari pendapatan, namun survei menunjukkan angka di Indonesia rata-rata mencapai 12,46 persen. Di kota satelit seperti Depok dan Bekasi, pengeluaran bisa mencapai 16–17 persen dari penghasilan.
Masalah biaya ini menjadi salah satu faktor penting dalam mengurangi aksesibilitas transportasi publik. Penumpang dengan pendapatan rendah seringkali harus memilih moda transportasi yang lebih murah, meskipun tidak nyaman atau efisien.
Oleh karena itu, ketahanan angkot dan transportasi massal sangat penting untuk mendukung mobilitas warga.
Integrasi Antarmoda dan Modernisasi Layanan
Integrasi antarmoda menjadi kunci untuk meningkatkan layanan transportasi publik. Transportasi massal yang terhubung dengan baik dapat mengurangi kemacetan dan menekan biaya hidup masyarakat. Layanan yang terpadu memungkinkan penumpang berpindah moda dengan lebih mudah dan cepat.
Transjakarta, MRT, dan LRT dapat menjadi tulang punggung integrasi transportasi. Angkot dan transportasi kecil lainnya berperan sebagai feeder untuk moda besar. Dengan koordinasi yang tepat, sistem transportasi publik dapat menjadi lebih andal dan efisien.
Selain itu, modernisasi armada sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas layanan. Bus, angkot, dan moda lain perlu pembaruan teknologi serta perawatan rutin. Hal ini akan meningkatkan kenyamanan, keselamatan, dan ketertarikan masyarakat untuk menggunakan transportasi umum.
Investasi dan dukungan pemerintah menjadi faktor utama agar modernisasi berjalan lancar. Tanpa subsidi dan alokasi anggaran yang memadai, risiko kegagalan layanan tetap tinggi. Oleh karena itu, strategi integrasi dan modernisasi harus diimbangi dengan dukungan finansial yang berkelanjutan.
Peran Pemerintah dan Strategi Keberlanjutan
Keberlanjutan transportasi publik memerlukan strategi jangka panjang dari pemerintah pusat dan daerah. Program subsidi harus dirancang agar tidak bersifat sementara. Dana yang dialokasikan perlu dipastikan cukup untuk mendukung operasional dan pengembangan layanan.
Selain itu, keterlibatan masyarakat dan pihak swasta juga penting. Public-private partnership dapat membantu menutupi kekurangan dana sekaligus meningkatkan efisiensi. Dengan kerjasama ini, ketergantungan pada subsidi dapat dikurangi secara bertahap.
Pemerintah juga perlu mendorong tarif yang terjangkau tanpa mengorbankan kualitas layanan. Penyesuaian tarif harus memperhatikan kemampuan ekonomi masyarakat, terutama di kota-kota satelit.
Strategi ini membantu menjaga akses transportasi bagi semua lapisan masyarakat sekaligus mendorong efisiensi sistem. Dengan langkah-langkah tersebut, transportasi publik Indonesia diharapkan lebih berkelanjutan.
Subsidi tetap penting sebagai pengaman, namun kombinasi manajemen yang baik, integrasi antarmoda, modernisasi armada, dan kolaborasi swasta dapat menciptakan sistem transportasi publik yang tangguh.